vXNwPj4qUNQpo38g8p3ivd6DJ6AcFOk4gL7S5iHx

Pemimpin Merakyat Vs Dana Desa dalam Pusaran Korupsi

Dok Mph 

Oleh: Melkianus Pote Hadi

Beberapa waktu lalu,  saya di pulau Sumba, saya mencermati beberapa persoalan kepemimpinan, berharap Sumbaku maju dan jaya. 

Kita semua punya data berapa dana Desa pada masing-masing Desa di Sumba Raya, mari ambil contoh simak 173 desa di SBD, alokasi dana Desa untuk .kab SBD dpt 170an miliar lebih tahun ini, lumayan jika secara akumulatif dg efektivitas mencapai minimal 80% saja berarti banyak perubahan yang bisa kita lihat di seantero SBD dan secara akumulatif, pemimpin dapat katakan " saya berhasil membawa perubahan" pada sektor-sektor dasar yang menyentuh langsung kehidupan ekonomi masyarakat/rakyat SBD ; Pemimpin harus lebih sering berada di desa ( bukan hanya berkunjung ke desa); dalam 5 tahun terdapat 1825 hari jika bupati menginap 3 hari saja di setiap desa maka, maka ia hanya butuh 519 hari berada bersama rakyatnya "bekerja bersama dengan rakyat", bukan hanya memantau pakai mobil dinas yang dikawal voorijder. Sisa waktu untuk kantor, keluarga, kunjungan luar masih tersisa 1300an hari.Cek dalam 1 periode kepemimpinan seorang bupati, sudahkah ia mengunjungi seluruh desa di kabupatennya? Ingat tdk semua hal butuh anggaran, banyak kegiatan yg hanya butuh dukungan moril/semangat seorang pemimpin yg hatinya ada di hati rakyat. Pemimpin seperti ini ntidak butuh kampanye utk periode berikutnya, hasil karyanya yg kampamye utk dia kecuali "ada permainan di laptop" baru bisa kalah Pilkada, tapi yang ini sudah isu lain lagi, mentalitas dan moralitas.

Seorang pemimpin harus memiliki Kemampuan berpikir aplikatif, harus punya ide sendiri sebelum minta tambahan pikiran org lain, jika tdk punya wawasan pemberdayaan, akan tdk nyambung nanti. Pembiayaan komponen penyelenggaraan birokrasi harus ditekan sekecil mungkin (misalnya dg tidak menambah staf administrasi (kembangkan e-admin), jurangi perjalanan dinas yg tidak perlu, dg kondisi covid-19, ini kesempatan belajar bagi para birokrat untuk tidak harus kumpul dalam 1 ruang rapat fisik 2 thn terakhir jg bs virtual meeting, dan bbg langkah efisiensi penggunaan anggaran lainnya.

Perlu gunakan pola perencanaan berbasis roadmap 25 tahun, bukan hanya berdasar pd visi misi dan rencana program kerja 5 tahunan; ciptakan aktivitas ekonomi yg berkelanjutan utk menjadi sumber pendapatan baru berbasis sumberdaya lokal, misalnya branding ekonomi kreatif berbasis pariwisata ( kerajinan, wisata budaya, wisata bahari,dll.;menjadikan sumba sbg tourism-hub utk kabupaten Sesumba), pemberdayaan ekonomi berbasis pertanian lahan kering, pemberdayaan kawasan lepas pantai yg msh "terlantar" utk bbg aktivitas ekonomi dg memajukan nelayan dan masyarakat pesisir, dst 

 Perencanaan pemberdayaan desa melalui peningkatan efektivitas pemanfaatan Dana Desa adalah hal msh dangat perlu diperbaiki.

 Dana Desa .T.A 2022 menjadi 78T berarti secara merata tiap desa dpt 1 miliar lebih sedikit, ckp besar kalau perencanaannya bagus dan pemanfaatannya efektif dan lbh hebat lg kalau tiap BUMDES bs punya kegiatan ekonomi yg "memutar" ( revolving) anggaran yg telah digelontorkan utk kelompok tani ternak.misalnya, sering bbg alasan teknis sapi mati, sapi kecil wkt pembagian dapi bakalsn yh diberikan tdk memenuhi syatat dsb, akibatnya kredit macet, BUMDES runtuh, dan dana macet ditangan peternak spt ini ada jg yg cenderung didiamkan sj, kalau pemanfastan dana desa benar-benar diaudit, banyak Kades yg masuk bui.

Pemimpin harus yang terpanggil untuk melayani bukan untuk berkuasa, uang merupakan alat untuk mempercepat pelayanan karena tidak ada manfaatnya uang banyak masuk di suatu daerah tapi tidak dimanfaatkan untuk rakyatnya.

Di wilayah ini kita harus mencerahkan pemilih spy lebih bijak dalam memilih pemimpinnya, pemimpin harus lahir dari rakyat bukan dari partai, kadang orang pintar juga yang mengarahkan akar rumput untuk memilih pemimpin dari casingnya saja. Kita harus belajar dari Jokowi bicaranya saja seperti orang desa tetapi cara kerjanya negara maju, pemilih masih disulap dengan orang harus gagah perkasa, pintar berorasi dll yg hanya bersifat casing saja untuk mengelabui pemilihnya.

Kadang kita berlindung bahwa semua pemimpin adalah pilihan Tuhan tapi kita lupa apakah tipe Saul atau tipe Daud karena kedua-duanya diurapi Tuhan untuk menjadi raja, tugas kita harus mencerahkan akar rumput untuk lebih bijak memilih pemimpinnya.

Demikian pula kehadiran Dana desa yang kucur sejak tiga tahun lalu belum mampu memenuhi harapan untuk mengatasi kemiskinan dan menopang desa untuk melakukan hal-hal produktif.

Landscape pembangunan menjadi nawacita yang terbangun di era Presiden Joko Widodo menuai apresiasi dari publik.

Menempatkan “pembangunan” tentu menjadi pintu masuk adanya perubahan dari berbagai segi yang ada di Indonesia. Bahkan dengan mengatasnamakan pembangunan, ini membuka seka-sekat yang sebelumnya membatasi antardaerah di Indonesia. Sehingga tak pelik lagi bahwa saat ini beliau melakukan perubahan besar-besaran terhadap pembangunan infrastruktur, baik bidang perhubungan, udara, laut, dan darat.

Tentu konsentrasi pembangunan di skala yang besar ini beliau tidak lupa dengan pembangunan di skala yang paling kecil, yakni desa. Namun sebelum melangkah jauh, kita sejenak menengok bagaimana pengertian desa.

Mencoba untuk melihat kembali keberadaan desa, Jan Berman menyatakan, desa sebagai rechtsgemeenschap (paguyungan masyarakat yang berstatus badan hukum) yang merupakan bentukan kolonial. Menurut Philippe C Schmitter (1974), lembaga masyarakat yang negara kooptasi sebagai alat kepentingan politik dan ekonominya sebagai korporasi negara (state corporatism).

Reffles-lah yang pertama kali menjadikan komunitas petani sebagai korporasi. Jepang yang menggantikan Belanda mengubah struktur dan organisasi dan tugasnya tetapi tidak mengubah statusnya. Orde Baru di bawah Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 dengan penyesuaian nomenklaturnya menjiplak model korporasi negara buatan Jepang.

Kembali melihat keberadaan desa, bahwa hari ini desa punya kemandirian khusus untuk bisa membangun bahtera rumah tangga desa secara mandiri. Kucuran dana kepada desa merupakan bentuk perhatian negara kepada desa. Sehingga pada akhirnya memberikan kewenangan kepada desa untuk bisa membangun dan merombak tatanan dan ketertinggalan yang selama ini belum terurus sama sekali.

Dana desa yang kucurkan sejak tiga tahun lalu belum mampu memenuhi harapan untuk mengatasi kemiskinan dan menopang desa untuk melakukan hal-hal yang produktif. Tatkala sirna ketika tujuan mulia pemberian ini untuk memberikan perhatian khusus terhadap desa untuk bisa berkembang dalam hal pembangunan ekonomi perdesaan dan juga pembangunan infrastruktur.

Namun kenyataan jauh dari harapan. Ketimpangan ekonomi di perdesaan tidak mengalami perubahan signifikan sejak 2015 ketika pertama kali kepada desa mengucurkannya. Jumlah orang miskin di desa juga jauh lebih banyak ketimbang di kota. Menurut catatan badan pusat statistik (BPS), dari total 27,76 juta penduduk miskin di Indonesia per september 2016, 62,24% atau 72,28 juta orang berada di perdesaan


Dana Desa: Dari Negara untuk Rakyat, Bukan untuk Dikorupsi

Transparansi Dana Desa dalam Penanganan Covid-19

Tentu ini bukti nyata bahwa dana dari APBN ini tidak memberikan angin segar terhadap desa untuk keluar dari peliknya kemiskinan yang terjadi. Mirisnya lagi bahwa sedianya tujuan pengelolaannya untuk memperkuat Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan pembangunan infrastruktur yang ada di desa. Malahan berbanding terbalik yang berlaku di masyarakat.


Bahkan yang lebih mengejutkan lagi, pemberian dana desa setiap tahun. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, pemberian dana desa per 2015, alokasinya tercatat 21, 7 triliun. Pada 2016 naik menjadi 46,9 triliun dan 2017 mencapai kurang lebih 60 triliun, bahkan terencana tahun 2018 sebesar 120 triliun. Dana yang jumlah fantastis seperti ini tentu sebenarnya dapat membangun desa, bukan membangunkan koruptor-koruptor baru yang ada di desa.


Desas-desus adanya indikasi korupsi terhadap dana desa tentu memberikan kecemasan berkepanjangan kepada masyarakat saat ini. Peristiwa terjeratnya kepala desa di Madura tentu memberikan siynal baru bahwa dana desa menjadi ladang baru korupsi saat ini. Tentu ini sungguh miris. Sehingga tidak mengherankan bahwa wabah korupsi sudah masuk dalam sendi-sendi masyarakat.


Sikap taken for granted itulah yang menjadi kisruhnya dana desa. Kasus korupsi yang menjerat kepala desa bisa jadi hanya puncak dari gunung es. Penyelewengan terjadi di banyak tempat, bukan semata-mata karena niatan untuk menyalahgunakan, melainkan juga karena kesempatan yang ada.


Sekiranya, catatan khusus dari penulis, melihat korupsi kepala desa, setidaknya ada kekeliruan penilaian publik selama ini. Terutama dari kalangan masyarakat kecil terhadap kaum kerah putih yang identik melakukan korupsi. Kini berbalik arah, malahan kelas menengah ke bawah juga tidak luput dari praktik pencurian uang rakyat.


Tentu ini menandakan bahwa ladang korupsi bukan hanya penguasa tingkat atas, namun juga pada level kelas bawah (kepala desa). Bahkan hari ini, kepala desa yang tingkat pendidikannya hanya mengenyam pendidikan menengah atas namun sudah mengetahui bagaimana cara menyiasati untuk melakukan peraktik korupsi.


Kendati demikian, tentu Kebijakan Presiden Joko Widodo yang telah memberikan kewenangan seluas-luasnya kepada kepala desa untuk mengelola dana dalam misi pembangunan dan perubahan desa menuai kegagalan. Pertanyaannya adalah di manakah peran Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 sebagai penopang dalam pengelolaan dana desa ini?


Tentu ini menjadi polemik ketika harapan yang dalam bunyi aturan dan pelaksanaannya tidak sesuai. Hemat penulis melihat persoalan ini: pertama, harus adanya fungsi kontrol dari masayarakat dalam pengelolaan dana desa. Penyimpangan penggunaan dana desa turut terdukung karena sikap pasif dari masyarakat dalam pengawasan.


Keterlibatan dari masyarakat merupakan salah satu solusi untuk memantau penggunaan dana desa. Ketika tidak ada fungsi kontrol yang masyarakat lakukan, maka secara tidak langsung masyarakat membiarkan adanya penyimpangan korupsi akan makin menjadi. Sehingga ketika pengawasan dari masyarakat dan aktif untuk menentukan pembangunan desa, maka akan memperkecil adanya praktik korupsi.


Kedua, potensi hukuman yang ringan turut membuat mereka (koruptor) pantang mundur melakukan korupsi. Sehingga tidak mengherankan hari ini muncul sebuah istilah baru “KPK masuk desa” ketika perangkat pemerintah daerah hingga level kepala desa ikut terbekuk oleh operasi tangkap tangan.


Oleh karena itu, kekompakan lembaga peradilan untuk membuat jera koruptor sangat krusial dalam upaya pemberantasan korupsi. Sehingga ketika ini tegak dengan baik, pemberian dana desa benar-benar memberikan angin segar untuk pembangunan desa sehingga tepatlah kita membangun Indonesia dari desa.

Warta Terkait

Warta Terkait

Posting Komentar