Dokpri |
Oleh: Melkianus Pote Hadi (MPH)
TERIMA UANG, ORANGNYA 'DITENDANG'?
Ketika politik direduksi maknanya hanya sebatas 'kompetisi merebut dan mempertahankan kekuasaan', maka keberadaan 'kapital politik' menjadi sebuah conditio sine qua non.
Salah satu kapital yang mendapat porsi perhatian signifikan, baik oleh aktor politik maupun publik konstituen adalah 'uang'. Kapital finansial ditengarai sebagai 'senjata efektif' dalam menggapai ambisi merengkuh kursi kuasa itu.
Kendati tak punya kompetensi dan kapasitas, tetapi ketika 'sakunya tebal', maka orang tersebut punya kans untuk menjadi pemimpin politik jika memenuhi parsyaratan dan prosedur yang bersifat administratif.
Uang yang menumpuk dilihat sebagai semacam 'nilai plus' dari figur tersebut. Bukan tidak mungkin, sebagian konstituen sangat 'terpukau' dengan calon yang mapan secara finansial ketika sebuah kontestasi politik dihelat.
Para 'broker politik' biasanya sangat 'lihai' membaca psikologi politik pemilih. Mereka sangat agresif memasarkan 'kelebihan' sang kandidat, yaitu uang yang melimpah. Aksi transaksi 'jual-beli' suara pun tak terbendung lagi.
Celakanya, pemilih yang bermental pragmatis, pasti sangat mendambakan strategi persuasi politik semacam itu. Para kandidat atau calo politik yang 'menyerahkan segepok uang', dinilai sebagai figur yang baik hati, dermawan, dan peduli terhadap nasib warga. Pasalnya, mereka begitu peka dengan kenyataan kemiskinan yang dihadapi oleh para pemilih saat ini.
Rupa-rupa argumentasi dikredit untuk menjustifikasi penggunaan politik uang itu. Ada yang mengatakan bahwa ketika calon itu menjadi 'pejabat politik', kita tidak dapat apa-apa. Karena itu, lebih baik pada musim kontestasi itu, kita terima sesuatu dari kandidat, yaitu berupa uang yang secukupnya. Belum tentu mereka memperhatikan kita ketika sudah bermukim di kawasan kekuasaan.
Ada juga yang melihat pemberian (uang) itu sebagai 'rejeki'. Karena dianggap 'rejeki politik', maka dengan tanpa beban kita menerima uang itu. Muncul uangkapan yang sudah populer saat ini: "Terima uangnya, tetapi jangan pilih orangnya". Terlihat dengan jelas bahwa konstituen hanya 'butuh uang', bukan produk politik bergizi dari kandidat yang terartikulasi dalam bentuk visi, misi, dan program politik yang berkualitas.
Selain itu, ada juga yang menghubungkan tindakan 'memberi uang' dengan tata nila adat istiadat. Kandidat yang memberi uang dinilai sebagai pribadi yang tahu adat, tahu berterima kasih kepada 'tuan rumah' yang dikunjungi. Para pemain politik mesti 'membalas kebaikan konstituen' dengan menyerahkan uang secukupnya. Dengan demikian, kandidat yang tidak punya uang atau lupa memberi uang ketika hendak pulang, pasti mendapat stigma negatif. Citra sang kandidat pasti sangat buruk dan kans untuk dipilih pasti sangat kecil.
Dari beberapa 'sinyalemen' di atas, dapat disimpulkan bahwa 'politik uang' sudah dianggap lumrah oleh sebagian konstituen. Mereka tidak melihat politik uang sebagai sebuah 'patologi' yang membuat praksis demokrasi semakin kerdil. Alih-alih dianggap sebagai 'gulma politik', justru politik uang dijadikan sebagai indikator 'kebaikan dan kecakapan politik' seorang kandidat.
Bisa dimengerti mengapa publik tidak melalukan protes atau perlawanan terhadap penggunaan politik uang dalam sebuah kontestasi politik. Mereka tidak melihat 'efek buruk' dari politik uang itu.
Yang mereka tahu adalah para pemain politik pasti memiliki cukup uang untuk 'dibagi secara gratis' kepada publik. Suara konstiuen dibayar dengan nominal yang bervariasi. Prinsipnya adalah tidak ada yang gratis dalam politik.
Saya coba membedah secara kritis sikap politik sebagian pemilih yang tertekspresi dalam ungkapan: "Terima uangnya, tetapi jangan pilih orangnya".
Hemat saya, ungkapan itu tidak memberikan pelajaran politik yang baik. Secara moral, ungkapan itu bersifat problematis. Mengapa?
Pertama, politik uang in se (dalam dirinya sendiri) bersifat buruk. Menerima uang dari kandidat pada musim kontestasi, dengan demikian bisa dianggap sebagai dukungan terhadap kejahatan dalam berpolitik.
Kedua, jika kita mengamini bahwa politik uang itu buruk, maka uang dari kandidat itu, sebetulnya 'tidak halal'. Itu berati kita sedang melahap 'uang tidak halal'. Mengunyah sesuatu yang tidak halal, tentu kurang terpuji atau dalam bahasa agama disebut 'dosa'.
Ketiga, kesadaran akan sisi buruk dari politik uang, semestinya menggugah hati nurani kita untuk melakukan perlawanan dan protes yang keras. Ada semacam imperasi etis untuk memberantas praktek immoral dalam berpolitik. Itu berarti seharusnya ketika kandidat menggunakan politik uang, publik meradang dan secepatnya 'melaporkan kasus' itu ke pihak yang berwajib.
Keempat, saya berpikir, sikap yang tepat adalah bukan 'terima uang, orangnya ditendang', tetapi jangan terima uang itu dan jangan pilih kandidat yang membagi uang tersebut. Selanjutnya, jika kita punya cukup bukti dan data, maka jadikan itu sebagai peristiwa pidana atau minimal sebagai satu bentuk pelanggaran dalam kontestasi politik seperti Pilkades.
Pileg, Pilpres dan Pilkada sudah mendekat tenang'. Meski dilabeli dengan 'kata tenang', tidak berarti para kandidat dan para pendukung mereka, tidak bergerak menjangkau konstituen. Justru dalam periode tenang ini, 'serangan politik' kepada konstituen dilakukan secara 'senyap dan elegan'. Bukan tidak mungkin 'masa tenang' diisi dengan aksi 'bagi-bagi uang dan material lainnya' untuk mendapat suara sebanyak-banyaknya.
Untuk itu, diharapkan agar para voter tetap waspada. Hati nurani tidak boleh 'dilego' dengan rupiah. Pastikan bahwa kita mempunyai martabat politik yang tidak boleh 'dilecehkan' dengan uang. Mereka yang mencoba atau tergoda 'menggunakan uang', sudah semestinya dianggap sebagai 'penjahat politik' yang layak ditendang ke luar gelanggang politik.