Oleh: Melkianus Pote Hadi (MPH)
Posisi generasi milenial sangat diperhitungkan pada tahun politik sekarang ini. Mereka adalah bagian dari penentu kemajuan dan keberhasilan demokrasi, baik di tingkat daerah maupun nasional.
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), jumlah pemilih milenial mencapai 70 juta–80 juta jiwa dari 193 juta pemilih.
Artinya, sekitar 35–40 persen memiliki pengaruh besar terhadap hasil pemilu dan menentukan siapa pemimpin pada masa mendatang.
Salah satu hal penting yang kerap terjadi pada pelaksanaan pemilu adalah soal perebutan kekuasaan yang bisa melahirkan persaudaraan atau bahkan bisa menimbulkan permusuhan. Keduanya mudah sekali terjadi.
Dalam demokrasi, ada yang namanya kawan dan lawan politik dan ini juga berlaku untuk para pendukung setiap calon.
Sekalipun, dalam politik tidak ada baik kawan maupun musuh abadi, semua hal tadi bisa terjadi, tergantung permainan waktu dan kepentingan. Banyak politisi yang semula lawan menjadi kawan politik begitu juga sebaliknya.
Dalam hal ini, partisipasi politik generasi milenial tentu sangat substansial karena dari persentase jumlah pemilih, generasi milenial menyumbang suara cukup banyak dalam keberlangsungan Pemilu 2019.
Generasi milenial menjadi sasaran empuk bagi politisi-politisi yang ingin mengajukan diri sebagai anggota dewan karena kondisi idealis pemuda yang mudah sekali dipengaruhi tentang keberpihakan.
Dengan peran generasi milenial sebagai pemilih yang memiliki sumbangsih terhadap suara hasil pemilihan yang cukup besar, maka posisi generasi milenial menjadi sangat strategis untuk menjadi objek sasaran pemungutan suara.
Beberapa tahun belakangan ini, semakin banyak politisi yang menyadari pentingnya peran media sosial sebagai cara untuk memperoleh kemenangan pada pemilu.
Pada Pemilu 2024, diperkirakan ada sekitar 20,3 juta pemilih pemula dari kalangan generasi muda berusia antara 17 dan 24 tahun.
Dilihat dari sisi usia, kemungkinan sebagian besar diantara mereka adalah pengguna media sosial.
Mereka diharapkan dapat menggunakan hak pilihnya dalam pemilu dan menjadi incaran para partai politik dan politisi untuk diraih suaranya.
Memberikan suara pada pemilu merupakan salah satu bentuk partisipasi politik. Namun, partisipasi politik tidak semata-mata diukur berdasarkan pemberian suara pada saat pemilu.
Pada dasarnya, ada banyak bentuk partisipasi politik, seperti mengirim surat (pesan) kepada pejabat pemerintahan, ikut serta dalam aksi protes atau demonstrasi, menjadi anggota partai politik, menjadi anggota organisasi kemasyarakatan, mencalonkan diri untuk jabatan publik, memberikan sumbangan kepada partai atau politisi, hingga ikut serta dalam acara penggalangan dana.
Seberapa jauh tingkat partisipasi generasi muda dalam bidang politik sering kali menjadi bahan perdebatan.
Generasi muda sering kali dianggap sebagai kelompok masyarakat yang paling tidak peduli dengan persoalan politik.
Mereka juga dianggap kerap mengalami putus hubungan dengan komunitasnya, tidak berminat pada proses politik dan persoalan politik, serta memiliki tingkat kepercayaan rendah pada politisi serta sinis terhadap berbagai lembaga politik dan pemerintahan (Pirie & Worcester, 1998; Haste & Hogan, 2006).
Pandangan ini sering kali dibenarkan dengan data yang menunjukkan bahwa generasi muda yang bergabung ke dalam partai politik relatif sedikit. Mereka juga cenderung memilih menjadi golput dalam pemilu.
Namun, sejumlah studi menunjukkan kekeliruan pandangan sebelumnya yang menganggap generasi muda tidak tertarik pada politik. Studi tersebut menyebutkan bahwa generasi muda adalah kelompok yang dinilai paling peduli terhadap berbagai isu politik (Harris, 2013).
Penelitian yang dilakukan EACEA (2013) terhadap generasi muda di tujuh negara Eropa menghasilkan kesimpulan bahwa generasi muda mampu mengemukakan preferensi dan minat mereka terhadap politik.
Sebagian dari mereka bahkan lebih aktif dari kebanyakan generasi yang lebih tua. Mereka juga menginginkan agar pandangan mereka lebih bisa didengar.
Namun, bentuk partisipasi politik generasi muda dewasa ini cenderung menunjukkan perubahan dibandingkan dengan generasi pendahulunya.
Jika pada masa lalu bentuk partisipasi politik lebih bersifat konvensional dan cenderung membutuhkan waktu lama, misalnya aksi turun ke jalan melakukan demonstrasi atau boikot, tindakan politik (political actions) generasi muda dewasa ini dipandang sebagai sesuatu yang “baru” karena tidak pernah terjadi pada masa satu dekade lalu.
Contohnya adalah partisipasi politik melalui internet dan media sosial. Tindakan politik generasi muda masa kini memiliki sifat cenderung lebih individual, bersifat spontan (ad-hoc), berdasarkan isu tertentu dan kurang terkait dengan perbedaan sosial.
Hal ini terjadi akibat pengaruh globalisasi dan individualisme serta konsumsi dan kompetisi.
Masyarakat di negara demokratis dapat berpartisipasi dalam kehidupan politik, setidaknya dengan tiga cara berbeda.
Pertama, Masyarakat dapat terlibat dalam arena publik untuk mempromosikan dan menyampaikan tuntutannya kepada siapa saja yang ingin mendengarkan, seperti ikut terlibat dalam berdemonstrasi.
Kedua, Masyarakat dapat menjadikan lembaga pembuat undang-undang (legislatif) atau lembaga eksekutif sebagai target pesan politik yang ingin disampaikan, misalnya menandatangani petisi.
Ketiga, Masyarakat dapat terlibat dalam proses seleksi dari orang-orang yang ingin menduduki jabatan publik. Contohnya dengan memberikan suara pada pemilu atau mencalonkan diri untuk jabatan publik.
Dalam berbagai literatur, tidak terdapat suatu pengertian yang diterima secara universal mengenai apa yang dimaksud dengan partisipasi politik.
Studi terhadap pengguna sosial media di Indonesia masih sangat terbatas dan studi lebih lanjut masih sangat dibutuhkan untuk mengungkapkan sifat dan karakteristik pengguna sosial media yang jumlah sangat besar dewasa ini. Disamping itu, generasi milenial diharapkan mampu membawa dinamika politik yang sehat dan dinamis.
Tahun 2024 seluruh masyarakat Indonesia merupakan momentum politik Pileg, Pilpres, dan pilkada membutuhkan peran generasi milenial yang cakap media, tanggap, kreatif, dan advokatif.
Langkah-langkah strategis generasi milenial dalam mengisi pesta demokrasi dapat dilakukan dengan beragam cara, misalnya mendorong gerakan antigolput atau kampanye hashtag yang positif demi pemilu berkualitas.
Penulis mendorong para pemuda agar jangan diam dan bisu, peran sertamu sangat dibutuhkan, walaupun tak begitu dianggap dalam beberapa konteks budaya dan sosial, namun secara sadar tulisan ini saya buat agar generasi muda jangan tenggelam dalam buaian dunia sekitar kita, mesti kita gerak, memang mungkin kita gagal dalam beberapa proses perjuangan, masalah demi masalah yang kita alami jangan menganggap masalah sebagai beban, kita mungkin akan menghindarinya. Bila kita menganggap masalah sebagai tantangan, kita mungkin akan menghadapinya. Namun, masalah adalah hadiah yang dapat kita terima dengan suka cita. Dengan pandangan tajam, kita melihat keberhasilan dibalik setiap masalah.
Sulit dibayangkan jika orang-orang yang menduduki jabatan publik kemudian membuat keputusan berdasarkan informasi sesat. Hanya karena berasal dari orang atau kelompok yang memiliki kedekatan perkawanan, kesamaan pandangan dan faktor-faktor perekat lainnya, segala macam informasi dianggap sebagai kebenaran tanpa perlu melakukan verifikasi.
Hal mendasar lainnya, kita perlu membangun pemahaman bahwa politik itu mulia karena diperlukan sebagai ikhtiar membuat perubahan lebih baik bagi masyarakat. Karena politik harus dibangun di atas dasar tanpa nilai baik berupa ideologi, moralitas dan keadaban. Saat ini, masyarakat mulai skeptis dengan proses politik, krisis kepercayaan pada partai politik dan politik. Jika hal ini tidak disadari para elite politik untuk kemudian melakukan perbaikan, maka secara perlahan mereka melakukan pembusukan terhadap demokrasi. Demokrasi memang tidak menjamin terwujudnya kondisi yang lebih baik dalam segala hal. Namun satu yang pasti, gagalnya demokrasi akan membawa arus balik otoritarianisme dan berjayanya para oligarki yang menyengsarakan rakyat.
Urgensi kondisi demokrasi kita, kita bertanya-tanya, sebagai Pemuda Pertanyaan mendasar, Bagaimana kaum muda semestinya berkiprah dalam politik? Lalu konsep etika atau moralitas seperti yang semestinya dimiliki sebagai modal dalam berpolitik? Persoalan etika politik sudah merupakan persoalan universal yang dibicarakan manusia sejak dahulu hingga dewasa ini.
Dinamika politik yang semakin mengukuhkan praktek yang tidak bermoral tersebut memerlukan adanya energi baru yang positif untuk merekonstruksi permainan politik agar lebih anggun, santun dan beradab.
Kaum muda perlu mengambil prakarsa dalam mengubah citra politik bangsa, tahun 2024 dapat menjadi momentum kemunculan kaum muda dalam pentas politik nasional, dengan catatan harus membawa energi baru yang positif bagi perbaikan bangsa.
Wacana kepemimpinan kaum muda yang mencuat beberapa waktu yang lalu dapat menjadi suatu catatan penting bagi kaum muda dalam merencanakan bentuk keterlibatannya dalam politik.
Ingat, politik tidak identik dengan masuk partai, masuk birokrasi, masuk lembaga-lembaga negara, tetapi politik dapat dilakukan dengan cara-cara yang bersifat edukatif, mendesain program pemberdayaan rakyat dan mewujudkan sistem kelembagaan civil society yang mandiri dan kuat.
Dengan mengambil prakrasa pada berbagai ranah kehidupan, kaum muda dapat sebagai alternatif kekuatan civil society dalam rangka merespons sejumlah distorsi sosio politik bangsa, mulai dari persoalan klasik berupa korupsi hingga persoalan manipulasi. Dahulu korupsi yang telah menggurita bangsa ini dilakukan secara konvensional, kini modus politik amoral itu dilakukan dengan cara-cara yang lain seperti pengadaan barang dan jasa atau modus lainnya.
Distorsi politik bangsa sebagai akibat kerakusan para elite berkuasa dan inilah yang menjadi dasar keterlibatan kaum muda dalam mencita-citakan serta menciptakan praktek politik yang bermoral.
Terima kasih para pemuda telah berani mengambil sikap untuk berjuang bersama membangun bangsa ini.
Begitu besarnya peranan pemuda dalam melakukan perubahan sejalan dengan jargon Presiden Soekarno untuk membangkitkan semangat para pemuda yaitu “ Beri aku 1000 orang tua , niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncang dunia”.
Pemuda hari ini adalah pemimpin di masa depan. Ketika hari ini pemuda bermalas-malasan, maka nanti akan didapatkan pemimpin yang hanya peduli pada kekuasaan. Ketika hari ini pemuda gemar berbohong dan ingkar janji, maka nanti akan didapatkan pemimpin yang gemar melakukan korupsi. Namun jika hari ini para pemuda rajin belajar dan gemar melakukan kebaikan, maka nanti akan didapatkan pemimpin yang pintar dan gemar membela kebenaran. Apa yang pemuda lakukan hari ini, itulah yang akan menjadi cerminan kebiasaannya di masa yang akan datang. Tidak dapat dipungkiri kalau suatu saat nanti para pemuda hari inilah yang akan menggantikan posisi para pemimpin sekarang. Oleh karena itu, perubahan kebiasaan harus dilakukan dari sekarang. Jangan menunggu nanti, karena akan berdampak pada penyesalan.
Daerah kita butuh generasi pemuda yang mempunyai idelisme tinggi, semangat yang bergelora, dan kekuatan yang begitu masif. Bangsa kita juga butuh Pemuda untuk menciptakan sebuah perubahan. Janganlah ditunda-tunda, karena semakin tua urusan semakin banyak ditambah tuntutan berkompromi disana-sini. Justru usia muda adalah saatnya untuk menciptakan perubahan untuk menjadi tonggak peradaban bangsa maupun dunia.
Saat ini adalah era ketika menguasai dunia adalah yang menguasai teknologi. Generasi pemuda lah yang saat ini cerdas akan teknologi. Mereka berusaha selalu menyeimbangkan antara kehidupan dunia nyata dan kehidupan dunia media sosial. Seperti yang selalu update berita di twitter, mencoba filter instagram terbaru, mencari cara memonetisasi vlog, hingga mencoba melakukan aksi sosial atau penggalangan dana melalui platform-platform online. Oleh karena itu, Indonesia butuh generasi pemuda untuk menguasai dunia melalui teknologi.
Zaman selalu bergerak dan pemuda adalah rodanya. Diprediksi Indonesia akan mengalami bonus demografi pada periode 2030 hingga 2040. Itu artinya jumlah penduduk usia produktif akan lebih besar dibandingkan dengan penduduk usia tidak produktif. Kita tengah menjemput era dimana pemuda hari ini adalah yang akan memimpin dan dipimpin. Pemuda sendiri yang tahu Indonesia seperti apa, yang akan ingin kita ciptakan untuk dihuni dan diperjuangkan. Lembaran-lembaran putih di sejarah menanti untuk tertulis kembali oleh peran dan gerak generasi pemuda selanjutnya.
Nusa Tenggara Timur butuh pemuda yang cerdas dalam gagasan, terbuka dengan ide, dan memiliki narasi yang cemerlang. Alangkah lebih baiknya lagi, pemuda yang tidak hanya menggebu-gebu dalam kata, yang pada akhirnya hanya mampu membuat orang lain takut untuk membuka diri. Pemuda yang bersahaja, hangat, bersahabat, tak bersekat dan tak menghalangi orang lain mendekat. Halus dalam kata namun tegas dalam karya.
Bonus demografi menjadi peluang strategis bagi kita untuk melakukan percepatan pembangunan ekonomi. Ini didukung ketersediaan sumber daya manusia (SDM) usia produktif dalam jumlah signifikan.
Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan, kita akan menikmati era bonus demografi pada 2020 dan berakhir pada tahun 2035. Pada masa tersebut, jumlah penduduk usia produktif diproyeksi berada pada grafik tertinggi sepanjang sejarah, mencapai 64 persen dari total jumlah penduduk Indonesia yang sebesar 297 juta jiwa.
Rasio usia produktif (15-64 tahun) di atas 64 persen sudah lebih dari cukup bagi kita untuk melesat menjadi negara maju. Ini adalah rasio usia produkif terbaik yang mulai kita nikmati nanti 2020 dan akan berakhir pada 2035. Namun jumlah yang besar tidaklah cukup tanpa diimbangi kualitas baik. Tugas kita semua untuk menjadikan bonus demografi ini memiliki makna bagi percepatan pembangunan di daerah kita.
Bonus demografi menjadi kesempatan bagi kita untuk memastikan percepatan pembangunan ekonomi menjadi negara maju sejajar dengan negara-negara besar lainnya. Di depan mata kita ada MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) dan perdagangan bebas Asia dan dunia. Saatnya pemuda Indonesia membangun visi yang besar menatap dunia yang ditunjang pembangunan manusia berkualitas.
Beberapa negara gagal memetik bonus demografi, seperti di Afrika Utara dan Amerika Latin. Penyebab kegagalan tersebut adalah adanya faktor kelembagaan yang tidak kondusif. Seperti menyangkut kepastian hukum, hak cipta, efisiensi birokrasi, dan kebijakan makroekonomi. Kemampuan penyerapan tenaga kerja yang tidak seimbang juga menjadi penyebab. Tenaga kerja tidak terserap dengan baik oleh perekonomian karena investasi yang tidak produktif. Upaya membangun SDM yang berkualitas sejak dini juga diperlukan sebagai langkah jangka panjang memetik bonus demografi.
(Opini; MPH 2020)
Dengan mengambil prakrasa pada berbagai ranah kehidupan, kaum muda dapat sebagai alternatif kekuatan civil society dalam rangka merespons sejumlah
distorsi sosio politik bangsa, mulai dari persoalan klasik berupa korupsi hingga persoalan manipulasi. Dahulu korupsi yang telah menggurita bangsa ini dilakukan secara konvensional, kini modus politik amoral itu dilakukan dengan cara-cara yang lain seperti pengadaan barang dan jasa atau modus lainnya.
Distorsi politik bangsa sebagai akibat kerakusan para elite berkuasa dan inilah yang menjadi dasar
keterlibatan kaum muda dalam mencita-citakan serta menciptakan praktek politik yang bermoral.
Terima kasih para pemuda telah berani mengambil sikap untuk berjuang bersama membangun bangsa ini. Salam MPH, Rembuk Milineal.