vXNwPj4qUNQpo38g8p3ivd6DJ6AcFOk4gL7S5iHx

Mahasiswa, Penggunaan Teknologi dan Etika Digital Kedokteran Hewan

drh.  HUD


Oleh: drh. Herlina Umbu Deta. M.Sc, adalah Dosen aktif Undana, pada Fakultas Kedokteran dan Kedokteran Hewan Undana. 

Jumlah penduduk Indonesia meraih posisi keempat terbanyak di dunia. Tentu menjadi beban bagi negara agar dapat mengembangkan kemampuan dari setiap penduduknya.

Karena Revolusi Industri 4.0 telah dimulai sehingga, negara dituntut memiliki penduduk yang mempunyai kecakapan terampil yang baik agar dapat bersaing di lingkup internasional.


Pertumbuhan penduduk di Indonesia akan terus mengalami peningkatan, menurut data BPS diprediksikan negara Indonesia mengalami peningkatan jumlah penduduk hingga 305,6 juta jiwa, dengan 70% usia produktif. Penduduk yang memiliki kecakapan terampil yang baik dan mampu memanfaatkan teknologi, Indonesia dapat memanfaatkan bonus demografi tersebut. Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika pada tahun 2035 Indonesia diprediksikan akan mendapat bonus demografi dilansir dalam web kominfo. Sumber daya manusia yang rendah akan mengakibatkan tingginya angka pengangguran (Setyaningrum, Sawiji, and Ninghardjanti 2018). Perguruan tinggi selalu menyumbangkan pengangguran di setiap tahunnya. Melihat data BPS tahun 2017 Jumlah pengangguran terbuka sebesar 5,33% atau sebesar 7.01 juta jiwa, sebesar 4,98% disumbangkan oleh pengangguran dari perguruan tinggi. 

 Di tengah gempuran kemajuan teknologi yang begitu masif, dari kecerdasan buatan, Internet of Things (IoT), hingga revolusi data besar (big data), kita hidup dalam dunia yang bergerak cepat, penuh perubahan, dan sarat kompleksitas.


Di tengah arus tersebut, mahasiswa sebagai calon pemimpin masa depan memegang peranan penting sebagai penjaga nalar, agen perubahan, dan pencipta solusi. Namun, di balik kecanggihan teknologi yang mereka nikmati hari ini, ada pertanyaan besar yang patut diajukan: sejauh mana wawasan mahasiswa saat ini berkembang seiring pesatnya kemajuan teknologi?


Mahasiswa masa kini hidup dalam era yang penuh kemudahan digital. Mereka dapat mengakses informasi dari seluruh penjuru dunia hanya dalam hitungan detik. Perangkat lunak berbasis AI, platform e-learning, hingga komunitas daring global membuka peluang luar biasa bagi pembelajaran dan kolaborasi. Namun, kemudahan ini justru menyimpan tantangan tersendiri: banjir informasi tidak otomatis berbanding lurus dengan kedalaman wawasan.


Wawasan bukan sekadar tahu banyak hal, melainkan tentang kemampuan memahami, mengaitkan, dan menyikapi informasi dengan kritis. Kemudahan akses kadang justru melahirkan generasi yang terbiasa dengan ringkasan instan, berpikir serba cepat, namun minim refleksi. Banyak mahasiswa yang bisa menjelaskan teknologi blockchain atau AI secara teknis, tetapi tidak mampu mengaitkannya dengan konteks sosial, budaya, dan etika yang lebih luas.


Di era yang saling terhubung, mahasiswa dituntut tidak hanya menguasai satu bidang ilmu secara sempit, tetapi mampu melihat hubungan antar-disiplin. Sayangnya, wawasan mahasiswa masih banyak yang bersifat silo, terkotak dalam sekat-sekat keilmuan. Mahasiswa teknik bisa jadi canggih dalam algoritma, tapi minim pemahaman tentang etika teknologi. Mahasiswa sosial mungkin kritis terhadap isu kebijakan, tapi belum tentu memahami dasar teknologi yang mereka kritik.


Padahal, permasalahan hari ini—seperti disinformasi digital, bias algoritmik, perubahan iklim berbasis data, atau keamanan siber—menuntut pemikiran lintas disiplin. Oleh karena itu, membangun wawasan interdisipliner adalah hal yang tidak bisa ditunda lagi. Mahasiswa perlu dibekali cara berpikir yang luas: mampu memahami konteks, membangun sintesis, dan mengaitkan beragam perspektif secara bijak.


Masih banyak yang menyamakan literasi digital dengan kemampuan menggunakan aplikasi, mengoperasikan perangkat, atau berselancar di dunia maya. Padahal, literasi digital yang sejati melibatkan kemampuan untuk mengevaluasi informasi, mengenali bias, memahami dampak sosial dari teknologi, serta menyaring pengetahuan yang valid dari yang manipulatif.


Sebagai contoh, banyak mahasiswa yang mampu menggunakan AI generatif seperti ChatGPT untuk menyusun tugas kuliah. Namun, berapa banyak yang benar-benar memahami bagaimana sistem itu bekerja, potensi biasnya, atau batas etis dalam penggunaannya? Tanpa literasi kritis semacam itu, wawasan mahasiswa berisiko menjadi semu—terlihat canggih di permukaan, namun rapuh dalam nalar.

Perguruan tinggi harus menyadari bahwa perkembangan teknologi tidak cukup direspons dengan menyediakan fasilitas digital atau memperbarui kurikulum secara teknis. Lebih dari itu, kampus harus menjadi ruang yang mendorong mahasiswa bertanya “mengapa” dan bukan sekadar “bagaimana”.

 Mahasiswa perlu didorong tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga penafsir, pengkritik, dan pengarah masa depan teknologi. Wawasan mahasiswa adalah pondasi utama dalam membentuk arah masa depan bangsa. Mahasiswa yang hanya cerdas secara teknis namun minim pemahaman sosial bisa melahirkan teknologi yang merugikan manusia. Sebaliknya, mahasiswa yang memiliki wawasan luas, kritis, dan berakar pada nilai kemanusiaan akan mampu mengarahkan teknologi sebagai alat untuk membangun peradaban yang lebih adil dan inklusif.


Era digitalisasi membawa dampak signifikan pada dunia kedokteran hewan di Indonesia, menghadirkan tantangan sekaligus peluang baru. Digitalisasi memungkinkan peningkatan efisiensi, aksesibilitas layanan, dan kualitas perawatan hewan, namun juga menuntut adaptasi dari praktisi veteriner. 

Dampak Digitalisasi pada Kedokteran Hewan:

Peningkatan Efisiensi:

Sistem manajemen klinik berbasis digital, rekam medis elektronik, dan aplikasi konsultasi online dapat menyederhanakan operasional dan meningkatkan produktivitas dokter hewan. 

Aksesibilitas Layanan:

Telemedicine, atau konsultasi jarak jauh, memungkinkan dokter hewan menjangkau pasien di daerah terpencil atau dengan keterbatasan akses. 

Peningkatan Kualitas Perawatan:

Alat diagnostik canggih berbasis digital, seperti pencitraan medis dan analisis laboratorium, membantu dokter hewan dalam mendiagnosis dan merawat hewan dengan lebih akurat. 

Pendidikan dan Pelatihan:

Digitalisasi juga mempengaruhi pendidikan kedokteran hewan, dengan adanya platform pembelajaran online, simulasi, dan materi pembelajaran interaktif yang memperkaya pengalaman belajar. 

Peluang Riset dan Pengembangan:

Data besar (big data) dari rekam medis dan hasil diagnostik dapat dianalisis untuk mengidentifikasi tren penyakit, mengembangkan intervensi preventif, dan meningkatkan pemahaman tentang kesehatan hewan. 

Tantangan dalam Implementasi Digitalisasi:

Kesenjangan Digital:

Tidak semua wilayah di Indonesia memiliki akses internet yang memadai atau fasilitas digital yang lengkap, yang dapat menghambat penerapan telemedicine dan layanan digital lainnya. 

Perlindungan Data:

Data pasien hewan yang tersimpan secara digital perlu dilindungi dari akses yang tidak sah dan kebocoran data. 

Adaptasi Praktisi:

Dokter hewan perlu dilatih dan didukung dalam menggunakan teknologi digital dan memahami manfaatnya untuk praktik mereka. 

Regulasi dan Etika:

Perlu ada regulasi yang jelas terkait penggunaan teknologi digital dalam praktik kedokteran hewan, termasuk etika penggunaan telemedicine dan perlindungan data pasien. 

Perubahan Kurikulum:

Kurikulum pendidikan kedokteran hewan perlu diperbarui untuk memasukkan materi tentang digitalisasi, analisis data, dan teknologi terkini.

 

Kesimpulan:

Era digital membawa perubahan signifikan dalam kedokteran hewan di Indonesia. Meskipun ada tantangan dalam implementasinya, digitalisasi menjanjikan peningkatan efisiensi, aksesibilitas, dan kualitas layanan, serta membuka peluang baru dalam riset dan pengembangan. Adaptasi terhadap perubahan ini, melalui pelatihan, regulasi, dan pengembangan kurikulum, akan menjadi kunci keberhasilan dalam memanfaatkan potensi digitalisasi untuk kemajuan kedokteran hewan di Indonesia.

 Di era digital yang serba terkoneksi, mahasiswa menjadi salah satu kelompok paling aktif di dunia maya. Dari kuliah online, diskusi di forum, hingga penggunaan media sosial, kehidupan mahasiswa sangat bergantung pada teknologi. Namun, kemudahan ini juga membawa tanggung jawab besar. Salah satunya adalah pentingnya etika digital.


Etika digital bukan hanya aturan dalam menggunakan internet, tetapi juga cerminan karakter dan tanggung jawab pengguna teknologi. Tanpa etika, ruang digital bisa menjadi tempat yang penuh konflik, penyebaran hoaks, dan pelanggaran privasi.


Etika digital sendiri mencakup beberapa hal, antara lain:

Penggunaan media sosial dengan sopan

Menghormati hak cipta

Menjaga keamanan data pribadi

Bertanggung jawab dalam menyebarkan informasi

Etika digital penting diterapkan di berbagai platform seperti email, aplikasi chatting, forum akademik, dan media sosial.

Mengapa Etika Digital Penting bagi Mahasiswa?

1. Membangun Reputasi Digital yang Positif

Jejak digital adalah bagian dari identitas Anda. Konten negatif atau provokatif dapat memengaruhi penilaian dosen, rekan, hingga calon pemberi kerja.

2. Menjaga Lingkungan Digital yang Sehat

Etika digital membantu menciptakan ruang online yang aman, bebas dari hoaks, cyberbullying, body shaming, dan ujaran kebencian.

3. Melindungi Data dan Privasi Pribadi

Mahasiswa harus paham pentingnya privasi online agar terhindar dari penipuan, phishing, dan pencurian data.

Prinsip Etika Digital untuk Mahasiswa

1. Berpikir Sebelum Mengunggah

Tanyakan: Apakah konten ini informatif? Apakah akan menyinggung orang lain? Apakah saya siap bertanggung jawab?

2. Hormati Hak Cipta

Jangan melakukan plagiarisme digital. Cantumkan sumber saat menggunakan karya orang lain, baik itu gambar, tulisan, maupun video.

3. Sopan dalam Berkomunikasi

Gunakan bahasa yang baik dan santun saat berdiskusi online. Hindari menyerang pribadi atau memancing konflik.

4. Bijak di Media Sosial

Hindari menyebarkan informasi sensitif atau belum terverifikasi. Selalu cek fakta sebelum membagikan berita.

5. Jaga Privasi dan Keamanan

Gunakan password kuat, aktifkan verifikasi dua langkah, dan jangan sembarangan mengklik tautan mencurigakan.

Cara Meningkatkan Etika Digital Mahasiswa

Ikuti pelatihan literasi digital dari kampus atau komunitas.

Diskusikan dan edukasi teman sebaya, bangun budaya saling mengingatkan.

Biasakan etika digital dalam keseharian, jadikan sopan santun digital sebagai refleks, bukan paksaan.

Etika digital bukan hanya panduan teknis, tetapi juga bentuk investasi reputasi dan keamanan jangka panjang. Sebagai mahasiswa, menerapkan etika digital membantu menciptakan lingkungan belajar yang positif dan mendukung kesuksesan karier.


WEO2



 


Warta Terkait
Terbaru Lebih lama

Warta Terkait

Posting Komentar