“Indonesia 2045: Berdaulat, Maju, Adil, dan Makmur” yang diterbitkan oleh Kementerian PPN/Bappenas Tahun 2019 yang merupakan sebuah visi besar bangsa Indonesia untuk mempercepat pencapaian tujuan berbangsa dan bernegara Indonesia menuju 100 tahun kemerdekaannya telah dikemukakan 4 (empat) pilar pembangunan nasional Indonesia. Menurut Presiden RI, Joko Widodo, keseluruhan Visi Indonesia 2045 diarahkan pada perwujudan Indonesia yang maju, adil, dan makmur dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kita ingin Indonesia menuju tahun 2045 menjadi negara maju dan salah satu dari 5 (lima) kekuatan ekonomi dunia dengan kualitas manusia yang unggul serta menguasai Ilmu pengetahuan dan teknologi, kesejahteraan rakyat yang jauh lebih baik dan merata, serta ketahanan nasional dan tata kelola kepemerintahan yang kuat dan berwibawa.
Untuk mempercepat perwujudan Visi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tersebut, Presiden Joko Widodo menggagas “Impian Indonesia 2015-2085”, yaitu: (1) Sumber daya manusia Indonesia yang kecerdasannya mengungguli bangsa-bangsa lain di dunia; (2) Masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi pluralisme, berbudaya, religius dan menjunjung tinggi nilai-nilai etika; (3) Indonesia menjadi pusat pendidikan, teknologi, dan peradaban dunia; (4) Masyarakat dan aparatur pemerintah yang bebas dari perilaku korupsi; (5) Terbangunnya infrastruktur yang merata di seluruh Indonesia; (6) Indonesia menjadi negara yang mandiri dan negara yang paling berpengaruh di Asia Pasifik; dan (7) Indonesia menjadi barometer pertumbuhan ekonomi dunia.
Dalam mewujudkan impian tersebut disusun Visi Indonesia Tahun 2045 dengan 4 (empat) pilar, yaitu: (1) Pembangunan Manusia serta Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, (2) Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan, (3) Pemerataan Pembangunan, serta (4) Pemantapan Ketahanan Nasional dan Tata Kelola Kepemerintahan. Keempat pilar tersebut dibangun di atas Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar berbangsa bernegara dan konstitusi, dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Pilar pertama adalah Pembangunan Manusia serta Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi ingin menegaskan bahwa pendidikan merupakan aspek/bidang utama yang penting dalam rangka menggerakkan dan mewujudkan ketiga pilar lainnya. Hal ini ditempuh melalui 5 (lima) langkah strategis: 1) Percepatan pendidikan rakyat Indonesia secara merata; 2) Peningkatan sumbangan Iptek dalam pembangunan; 3) Peningkatan derajat kesehatan dan kualitas hidup rakyat; 4) Peningkatan peran kebudayaan dalam pembangunan; dan 5) reformasi ketenagakerjaan. Target yang ingin dicapai di bidang pendidikan antara lain:
1) Taraf pendidikan rakyat Indonesia ditingkatkan untuk menciptakan SDM unggul dan berbudaya. Rata-rata lama sekolah meningkat menjadi 12 tahun pada tahun 2045. Angka partisipasi kasar (APK) perguruan tinggi mencapai 60 persen dan angkatan kerja lulusan pendidikan SMA sederajat dan PT mencapai 90 persen pada tahun 2045.
2) Peningkatan pendidikan vokasi dan penyelarasan pengembangan ilmu di perguruan tinggi diarahkan untuk menjawab perubahan struktur ekonomi dengan ditopang oleh kemitraan tiga pihak (pemerintah, perguruan tinggi, dan industri) yang kuat. Tenaga kerja terampil dengan keahlian khusus dan penguasaan bahasa asing menjadi kebutuhan dalam pasar kerja yang kompetitif.
3) Peran kebudayaan dalam pembangunan ditingkatkan via kapitalisasi nilai-nilai luhur budaya bangsa dan pengembangan etos kerja untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu pusat kebudayaan dan peradaban dunia. Jati diri bangsa Indonesia dan budaya bangsa diperkuat untuk memperkokoh akar kebudayaan Indonesia di tengah arus globalisasi.
4) Sumbangan Iptek dalam pembangunan ditingkatkan. Pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan (R&D) ditingkatkan dari 0,1 persen PDB (2013) menjadi 1,5-2 persen PDB (2045) yang berasal dari swasta, pemerintah, pendidikan tinggi, dan lembaga nonprofit. Penguatan Iptek disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan dengan mengembangkan teknologi sendiri (indigenous technology) yang didukung oleh SDM Iptek (peneliti dan perekayasa).
5) Kolaborasi triple-helix antara perguruan tinggi, swasta, dan pemerintah melembaga dalam setiap proses hilirisasi dan komersialisasi hasil penelitian.
6) Indonesia akan mengambil peran sebagai salah satu pusat pengembangan Iptek di kawasan Asia dan dunia, terutama dalam bidang kemaritiman, biodiversitas, teknologi material, serta kebencanaan dan mitigasi bencana.
Untuk mencapai target di atas maka beberapa strategi pembangunan pendidikan mencakup upaya peningkatan kualitas dan layanan pendidikan merata, peran masyarakat dalam pembangunan pendidikan, profesionalisme guru dan perubahan metode pembelajaran, budaya sekolah dan baca, dan pendidikan vokasi, enterpreneurship, dan karakter.
Menurut Regina Ade Darman dalam jurnalnya yang diterbitkan pada tahun 2017 berjudul “Mempersiapkan Generasi Emas Indonesia Tahun 2045 Melalui Pendidikan Berkualitas” menjelaskan bahwa pendidikan merupakan sebuah proses untuk membentuk manusia yang tidak hanya cerdas secara intelektual, mampu berpikir secara saintifik dan filosofis tetapi juga mampu mengembangkan spiritualnya.
Pendidikan tanpa guru ibarat ruangan tanpa cahaya sebab peran guru amat strategis bagi dunia pendidikan, di mana dari semua komponen pendidikan yang ada (kurikulum, sarana prasarana, metode pembelajaran, guru, siswa, orang tua, dan lingkungan), yang paling menentukan adalah guru. Guru memiliki kedudukan yang sangat mulia dan dari merekalah tercipta generasi emas Indonesia. Tantangan pendidikan berkualitas mengharuskan guru untuk lebih kreatif, inovatif, dan inspiratif dalam mendesain kegiatan pembelajaran yang bermutu menyongsong Generasi Emas dimaksud. Guru menjadi kunci utama keberhasilan menghasilkan SDM yang tidak hanya produktif tetapi juga unggul dan religius. Peran pendidikan dalam mempersiapkan generasi 2045 sangat penting. Target yang dicanangkan pemerintah berupa munculnya generasi emas Indonesia dalam sepuluh atau dua puluh tahun ke depan yaitu dengan meluaskan kesempatan akses pendidikan lebih tinggi dan peningkatan kualitas pendidikan sejalan dengan upaya meningkatkan kompetensi dan kesejahteraan guru.
Untuk mempersiapkan Generasi Emas Indonesia 2045, penting bagi dunia pendidikan untuk melakukan perubahan pola pikir karena pendidikan tidak sekadar dimaknai dengan transfer akademik (keilmuan) saja, melainkan dilengkapi dengan karakter. Keseimbangan akademik dan karakter inilah yang perlu disiapkan sejak sekarang. Pemerintah selalu menuntut guru untuk bisa lebih kreatif, inovatif dan inspiratif dalam mendesain kegiatan pembelajaran yang bermutu untuk menyongsong generasi emas Indonesia. Jika memang guru menjadi kunci utama, seharusnya pemerintah meletakkan kekuasaan penuh terhadap guru untuk menyusun kurikulum serta mengevaluasi. Seorang tokoh Samurai terkenal Jepang, Miyamoto Musashi pernah mengatakan “The difference between the impossible and possible lies in a person’s determination” (bahwa faktor keunggulan manusia dapat mengubah yang tidak mungkin menjadi mungkin).
Untuk mencapai generasi emas Indonesia maka diperlukan juga usaha peningkatan mutu pendidikan di Indonesia melalui: (1) Peningkatan Anggaran Pendidikan; (2) Perbaikan manajemen pengelolaan pendidikan; (3) Pembebasan sekolah dari suasana bisnis; (4) Perbaikan kurikulum; (5) Pendidikan Agama; (6) Pendidikan yang melatih kesadaran kritis; dan (7) Pemberdayaan Guru.
Dalam hidup ini alangkah baiknya kita berkenan untuk belajar dari orang lain yang telah lebih dahulu sukses ketimbang memaksakan cara berpikir kita yang belum teruji tingkat kebenarannya. Inovasi dan kreasi penting namun tetap mesti ada landasan pijakannya agar tidak ‘tersesat’. Mari kita belajar dari negara Finlandia. Negara Finlandia adalah Negara yang baik tata kelola pendidikannya, bahkan mengalahkan Amerika Serikat, Jepang, ataupun Jerman. Oleh sebab itu kiblat pendidikan dunia saat ini mengarah ke negara Finlandia.
1. Anak-anak baru bersekolah saat usia 7 tahun. Anak-anak tidak diperkenankan mengikuti playgroup ataupun sejenisnya. Pemerintah Finlandia justru memberi tugas kepada para orang tua untuk melaksanakan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Alasannya karena dari bayi hingga usia 6 tahun adalah masa yang kritis untuk tahap awal perkembangan anak. Pemerintah Finlandia memberi Maternity Package untuk setiap ayah dan Ibu ketika mereka memiliki bayi yang berisi panduan untuk mendidik anak mereka.
2. Tidak ada tes hingga usia 16 tahun. Tatkala anak-anak Finlandia masuk sekolah, tidak ada kewajiban untuk mengikuti ujian tingkat nasional, kecuali saat ia hendak melanjutkan kuliah di perguruan tinggi. Finlandia tidak menganut GERM (Global Education Reform Movement) yang menekankan pendidikan ke arah kompetisi dan persaingan. Pembelajaran di kelas pun berlangsung rileks tanpa ketegangan.
3. Tidak banyak tugas dan PR. Anak-anak Finlandia tidak perlu pulang ke rumah dengan membawa tugas yang tidak relevan dengan hobi dan kesenangannya. Mereka cukup mengembangkan bidang yang mereka sukai, menggali potensi dalam diri hingga bisa meraih prestasi. Mereka juga tidak perlu mengikuti bimbel ataupun mengerjakan puluhan soal di kelas. Satu kelas pun hanya berisi 15-17 siswa sehingga keadaan kelas lebih kondusif untuk belajar. Sehingga setiap siswa bisa berkonsultasi pada guru dengan leluasa.
4. Guru adalah tamatan S2 dengan lulusan terbaik. Di Finlandia, guru bukan hanya pahlawan tanpa tanda jasa tapi juga profesi terhormat. Bahkan orang Finlandia merasa lebih terhormat menjadi guru dibandingkan bekerja sebagai dokter. Untuk menjadi guru diperlukan kompetensi setara Strata 2 dengan nilai terbaik. Mereka wajib menerapkan metode belajar aktif dan menyenangkan serta memberi motivasi kepada para siswanya. Guru memiliki keintiman dengan siswanya maka guru pun bebas merumuskan kurikulum yang sesuai dengan karakteristik siswanya.
5. Tidak mengkotak-kotakan siswa dengan nilai prestasi atau tingkat ekonomi. Tidak ada mengkubu-kubukan siswa dengan penyebutan kelas reguler dan akselerasi apalagi VIP. Kualitas masing-masing sekolah tidak berbeda jauh sehingga tidak terlihat kesenjangan antarsiswa. Para orang tua tidak perlu kuatir dengan biaya sekolah. Finlandia menanggung biaya pendidikan di sekolah hingga perguruan tinggi (Strata 1) termasuk sekolah swasta. Kesempatan belajar dibuka lebar dan ditanggung pemerintah. Tidak perlu ada kekuatiran tidak menerima ijazah karena belum membayar ataupun tekanan tidak naik kelas.
Asri Kusuma Dewanti, seorang pakar pendidikan dari Universitas Muhammadiyah Malang, dalam sebuah tulisannya pada tahun 2022 bertema “PENDIDIKAN MENUJU INDONESIA EMAS 2045”, mengkonstatasi bahwa kualitas pendidikan menjadi hal yang urgen guna melahirkan generasi emas Indonesia di tahun 2045 dan pendidikan merupakan kunci utama bagi suatu negara untuk unggul dalam persaingan global. Pendidikan dianggap sebagai bidang yang paling strategis untuk mewujudukan kesejahteraan nasional. Sumber Daya Manusia (SDM) yang cerdas dan berkarakter merupakan prasyarat terbentuknya peradaban yang tinggi. Sebaliknya, SDM yang rendah akan menghasilkan peradaban yang kurang baik pula. Bangsa yang berdaya saing tinggi berpeluang memenangkan persaingan. Sebaliknya, daya saing terbatas atau rendah, menyebabkan bangsa tersebut tertinggal di belakang. Apalagi, persaingan masa depan bukan lagi ditandai konteks globalisasi abad ke-20, tetapi globalisasi yang bercorak digital. Terlebih, kualitas pendidikan Indonesia masih jauh dari kata sempurna.
Hal itu terlihat dari pemeringkatan dari Word Population Review 2021 yang menempatkan Indonesia pada peringkat ke-54 dari 78 negara yang masuk dalam pemeringkatan pendidikan dunia. Indonesia masih kalah ketimbang negara serumpun Asia Tenggara seperti Singapura di posisi 21, Malaysia 38, dan Thailand 46. Begitupun berdasarkan Human Development Index (HDI), Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS), Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS), serta Programme for International Student Assessment (PISA), peringkat Indonesia berada pada posisi menengah bawah hingga rendah.
Lebih memprihatinkan lagi kalau kualitas pendidikan Indonesia dilihat dari sisi karakter. Masih marak terjadi korupsi yang bahkan dilakukan mulai dari kalangan milenial, penggunaan narkoba yang meluas, tawuran, kekerasan, hingga pelanggaran lalu lintas yang dianggap lazim. Indikator itu menunjukkan, masih terlalu banyak pekerjaan rumah (PR) di sektor pendidikan yang harus diselesaikan bangsa Indonesia. Itu artinya, PR negeri ini untuk mengejar ketertinggalan di sektor pendidikan sangat urgen untuk diperhatikan, terlebih dalam upaya mewujudkan pendidikan menuju Indonesia Emas 2045.
Target yang dicanangkan pemerintah berupa munculnya generasi emas Indonesia dalam sepuluh atau dua puluh tahun kedepan yaitu dengan meluaskan kesempatan akses pendidikan lebih tinggi perlu didukung penuh oleh semua komponen pendidikan. Selain itu diperlukan peningkatan kualitas pendidikan yang sejalan dengan upaya peningkatan kompetensi dan kesejahteraan guru, mewujudkan sekolah berstandar internasional dalam rangka merespon arus digitalisasi, penyempurnaan kurikulum dan program, dan pembiayaan pendidikan.
Untuk mengurai benang kusut itu diperlukan regulasi pendidikan di bawah kementerian. Otonomi daerah berdampak pada sistem keuangan daerah dengan dana alokasi umum dari pemerintah pusat tetap harus dipertahankan. Hal itu mengingat setiap daerah memiliki karakter budaya dan watak yang berbeda. Terlebih mengingat dari sisi regulasi dan pendanaan, Indonesia telah mengalokasikan 20% dana APBN/APBD untuk sektor pendidikan. Angka itu tentu sangat besar sesuai dengan amanah UU Sisdiknas maka sudah semestinya negeri ini bisa mengatasi ketertinggalan kualitas pendidikan bangsa ini agar sejajar dengan bangsa lainnya, minimal dalam rumpun Asia Tenggara.
Pada aras operasional, guru memegang peran penting untuk mewujudkan generasi Indonesia Emas 2045 karena guru memiliki peran penting dalam membangun sekelompok manusia. Oleh karena itu perlu adanya guru penggerak yakni guru yang mentransformasikan misi pendidikan dalam tindakan pembelajaran kehidupan anak didik. Cara berpikir yang dibawakan guru, the ways of thinking, inovatif, kritis, dan kurikulum perlu mengakomodasi keragaman kebutuhan pelajar dari berbagai sumber. Salah satu hal yang perlu ditanamkan guru yakni dengan memberikan penguatan pendidikan karakter (softskills) pada dunia pendidikan. Pendidikan karakter diharapkan mampu membangun manusia yang cakap dalam akhlak, cerdas dalam berpikir dan terampil sebagaimana tercantum dalam Perpres Nomor 87 Tahun 2017 Tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK).
Pendidikan karakter bertujuan mengembangkan nilai-nilai yang membentuk
karakter bangsa yaitu Pancasila, meliputi: (1) mengembangkan potensi peserta didik
agar menjadi manusia berhati baik, berpikiran baik, dan berprilaku baik; (2) membangun bangsa yang berkarakter Pancasila; dan (3) mengembangkan potensi warga
negara agar memiliki sikap percaya diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta
mencintai umat manusia.
Pendidikan karakter berfungsi: (1) membangun kehidupan kebangsaan yang
multikultural; (2) membangun peradaban bangsa yang cerdas, berbudaya luhur, dan
mampu berkontribusi terhadap pengembangan kehidupan ummat manusia; mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik
serta keteladanan baik; dan (3) membangun sikap warganegara yang cinta damai, kreatif,
mandiri, dan mampu hidup berdampingan dengan bangsa lain dalam suatu harmoni.
Gerakan pendidikan karakter merupakan tanggung jawab satuan pendidikan untuk memperkuat karakter peserta didik melalui harmonisasi olah hati (etik), olah rasa (estetis), olah pikir (literasi) dan olah raga (kinestetik) dengan dukungan pelibatan publik dan kerja sama antara sekolah, keluarga, dan masyarakat sebagai bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM). Pendidikan karakter memiliki 4 (empat) dimensi yang terdapat keterkaitan satu sama lain yakni: 1) Dimensi Olah Hati (Etik), yakni individu yang memiliki kerohanian mendalam, beriman dan bertakwa. Dimensi ini erat hubungannya dengan agama serta keyakinan yang dianut seseorang baik dewasa maupun remaja; 2) Dimensi Olah Pikir (Literasi), yakni individu yang memiliki keunggulan akademis sebagai hasil pembelajaran dan belajar sepanjang hayat guna memenuhi target dan kemampuannya di mana dimensi ini erat hubungannya dengan pencapaian hasil belajar; 3) Dimensi Olah Rasa (Estetik), yakni individu yang memiliki integritas moral, rasa berkesenian dan berkebudayaan. Dimensi ini erat kaitannya dengan kemampuan dan keahlian individu; dan 4) Dimensi Olah Raga (Kinestetik), yakni individu yang sehat dan mampu berpartisipasi aktif sebagai warga Negara. Dimensi ini erat hubunganya dengan raga yang sehat.
Selanjutnya, terdapat 5 (lima) nilai utama karakter yang akan ditanamkan berdasarkan nilai-nilai Pancasila, 3 (tiga) pilar Gerakan Nasional Reveolusi Mental (GNRM), kekayaan budaya bangsa (kearifan lokal), dan kekuatan moralitas yang dibutuhkan bangsa Indonesia dalam menghadapi tantangan dan perubahan-perubahan di masa depan. Nilai-nilai dimaksud yakni:
1) Religiuitas, yang mencerminkan keberimanan terhadap Tuhan yang Maha Esa yang diwujudkan dalam perilaku melaksanakan ajaran agama dan kepercayaan yang dianut, menghargai perbedaan agama, menjunjung tinggi sikap toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama dan kepercayaan lain, hidup rukun dan damai dengan pemeluk agama lain. Subnilai religius antara lain beriman dan bertakwa, disiplin ibadah, cinta damai, toleransi, menghargai perbedaan agama dan kepercayaan, teguh pendirian, percaya diri, kerja sama antar pemeluk agama dan kepercayaan, antibuli dan kekerasan, persahabatan, ketulusan, tidak memaksakan kehendak, melindungi yang kecil dan tersisih, mencintai dan menjaga lingkungan, bersih, memanfaatkan lingkungan dengan bijak.
2) Nasionalisme, yang merupakan cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa, menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. Subnilai nasionalis antara lain apresiasi budaya bangsa sendiri menjaga kekayaan budaya bangsa, rela berkorban, semangat kebangsaan, unggul, dan berprestasi, cinta tanah air, menjaga lingkungan, taat hukum, disiplin, menghargai kebinekaan, menghormati keragaman budaya, suku, dan agama.
3) Kemandirian, yang merupakan sikap dan perilaku tidak bergantung pada orang lain dan mempergunakan segala tenaga, pikiran, waktu untuk merealisasikan harapan, mimpi dan cita-cita. Subnilai mandiri antara lain etos kerja (kerja keras), tangguh, tahan banting, daya juang, profesional, kreatif, keberanian, dan menjadi pembelajar sepanjang hayat.
4) Gotong Royong, yang mencerminkan tindakan menghargai semangat kerja sama dan bahu membahu menyelesaikan persoalan bersama, menjalin komunikasi dan persahabatan, memberi bantuan pertolongan pada orang-orang yang membutuhkan. Subnilai gotong royong antara lain menghargai, kerja sama, inklusif, komitmen atas keputusan bersama, musyawarah mufakat, tolong-menolong, solidaritas, empati, anti diskriminasi, anti kekerasan, dan sikap kerelawanan.
5) Integritas, yang merupakan nilai yang mendasari perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, memiliki komitmen dan kesetiaan pada nilai-nilai kemanusiaan dan moral (integritas moral).
Karakter integritas meliputi sikap tanggung jawab sebagai warga negara, aktif terlibat dalam kehidupan sosial, melalui konsistensi tindakan dan perkataan yang berdasarkan kebenaran. Subnilai integritas antara lain kejujuran, cinta pada kebenaran, setia, komitmen moral, anti korupsi, keadilan, tanggung jawab, keteladanan, dan menghargai martabat individu (terutama penyandang disabilitas).
Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter pada satuan
pendidikan telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya,
dan tujuan pendidikan nasional, yakni: (1) Religius; (2) Jujur; (3) Toleransi; (4) Disiplin;
(5) Kerja keras; (6) Kreatif; (7) Mandiri; (8) Demokratis; (9) Rasa ingin tahu; (10) Semangat kebangsaan; (11) Cinta tanah air; (12) Menghargai prestasi; (13) Bersahabat/komunikatif; (14) Cinta damai; (15) Gemar membaca; (16) Peduli lingkungan; (17) Peduli sosial; (18) Bertanggung jawab (Pusat Kurikulum. Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. 2009: 9-10).
Laporan: WEP2